Social Icons

Rabu, 22 Oktober 2014

Pertanian Indonesia di Era Global

Pertanian Kita di Era Global SAAT ini bencana kekeringan terjadi di banyak daerah. Efeknya dapat diterka, petani akan menjerit akibat produksinya menurun dan kerugian di depan mata. Persediaan pangan terganggu, harga-harga melangit. Yang merasakan dampaknya, bukan hanya petani produsen, tetapi juga masyarakat konsumen. Jika sudah begitu, pemerintah turun ke pasar. Bahkan, jika persediaan beras tidak mencukupi untuk mampu mengendalikan harga, pemerintah melakukan impor beras.

Siklus seperti ini sering dan selalu terjadi begitu di negara yang dikenal sebagai negara agraris ini. Solusi akhir berupa impor beras sebenarnya berseberangan dengan keinginan untuk menghemat devisa. Impor beras juga merupakan langkah tidak simpatik dari sudut pandang petani.
Ini pertanda, masalah produksi masih menjadi salah satu masalah krusial di sektor pertanian di negara kita. Berbagai upaya mengatasinya telah dilakukan, juga oleh para pionir pertanian. Misalnya pernah dilakukan dengan mengembangkan pola penanaman padi system of rice intensification (SRI). Inti pendekatannya, membangun sektor pertanian sehingga berhasil meningkatkan produksi padi, tanpa merusak lingkungan.
Penerapan metode SRI baru merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan produksi padi. Namun, paling tidak penerapan metode ini bisa turut mengatasi beragam masalah yang ada di lapangan. SRI turut mengatasi masalah yang terkait kelangkaan air, misalnya, sebagai akibat pasokan air mulai menipis, akibat perubahan iklim maupun kerusakan ekologi alam.
Bencana kekeringan yang telah dan diperkirakan tetap mengancam di berbagai daerah mengingatkan kita untuk tidak lagi mengabaikan kelestarian sumber air dan pembangunan infrastruktur irigasi. Ironis, dalam era otonomi daerah sekarang ini ditengarai langkanya pembangunan infrastruktur. Yang ada kebanyakan infrastruktur peninggalan rezim lama yang sebagian sudah mengalami kerusakan. Wajar, jika ada petani subak di Bali yang pernah mempertanyakan, mengapa bantuan pemerintah berupa bibit, padahal yang lebih diperlukan perbaikan saluran irigasi yang kini banyak yang bocor.
Bukan hanya terkait produksi, di sektor pertanian kita masih menghadapi kendala berupa terbatasnya kemampuan petani mengakses pasar. Produksi tinggi, tetapi petani tetap menjerit, akibat rendahnya harga produk mereka. Ironisnya, pada saat bersamaan konsumen pun menjerit akibat tingginya harga produk pertanian yang mereka perlukan sehari-hari. Ini petunjuk, harga produk pertanian masih sangat tergantung pada tengkulak/pedagang. Mata rantai pemasaran hasil pertanian yang panjang dan berliku ini pun menjadi salah satu persoalan yang harus segera dipecahkan.
Jika demikian kondisinya, tampaknya kita belum siap berbicara dalam era globalisasi sekarang ini. Kita masih berkutat pada masalah-masalah mendasar di lingkungan internal di sektor pertanian. Kita masih sering dihantui langkah tidak simpatik impor beras, padahal mestinya kita sudah harus bertarung dalam arena persaingan ekspor produk pertanian. Kita belum mampu mengenyam nikmat konsep trickle down effect yang mengandaikan kesejahteraan global akan merembes ke arena lokal. Sebab, kita masih fokus mengurusi persoalan mendasar, kebutuhan utama perut, dan belum sempat melakukan spesialisasi komoditas ekspor dengan tujuan untuk meningkatkan keunggulan komperatif.
Sektor pertanian telah ditetapkan sebagai fokus dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005- 2025. Persoalannya, sudah sampai sejauh mana rencana itu dijabarkan di daerah-daerah seiring otonomi daerah? Pembangunan pertanian harus dimulai dari daerah, dari bawah. Infrastruktur dibangun, sumber daya manusia disiapkan, berdasarkan program yang konseptual. Sudahkah terpikirkan dalam era global ini, misalnya, jogotirto, ulu-ulu banyu, kelian subak pun mestinya sosok yang berketerampilan, berwawasan global, dan visioner, sesuai bidang dan tugasnya?

Sumber : http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text