Pertanian Kita di Era Global
SAAT ini bencana kekeringan terjadi di banyak daerah. Efeknya dapat
diterka, petani akan menjerit akibat produksinya menurun dan kerugian di
depan mata. Persediaan pangan terganggu, harga-harga melangit. Yang
merasakan dampaknya, bukan hanya petani produsen, tetapi juga masyarakat
konsumen. Jika sudah begitu, pemerintah turun ke pasar. Bahkan, jika
persediaan beras tidak mencukupi untuk mampu mengendalikan harga,
pemerintah melakukan impor beras.
Siklus seperti ini sering dan selalu terjadi begitu di negara yang
dikenal sebagai negara agraris ini. Solusi akhir berupa impor beras
sebenarnya berseberangan dengan keinginan untuk menghemat devisa. Impor
beras juga merupakan langkah tidak simpatik dari sudut pandang petani.
Ini pertanda, masalah produksi masih menjadi salah satu masalah
krusial di sektor pertanian di negara kita. Berbagai upaya mengatasinya
telah dilakukan, juga oleh para pionir pertanian. Misalnya pernah
dilakukan dengan mengembangkan pola penanaman padi system of rice
intensification (SRI). Inti pendekatannya, membangun sektor pertanian
sehingga berhasil meningkatkan produksi padi, tanpa merusak lingkungan.
Penerapan metode SRI baru merupakan salah satu alternatif untuk
meningkatkan produksi padi. Namun, paling tidak penerapan metode ini
bisa turut mengatasi beragam masalah yang ada di lapangan. SRI turut
mengatasi masalah yang terkait kelangkaan air, misalnya, sebagai akibat
pasokan air mulai menipis, akibat perubahan iklim maupun kerusakan
ekologi alam.
Bencana kekeringan yang telah dan diperkirakan tetap mengancam di
berbagai daerah mengingatkan kita untuk tidak lagi mengabaikan
kelestarian sumber air dan pembangunan infrastruktur irigasi. Ironis,
dalam era otonomi daerah sekarang ini ditengarai langkanya pembangunan
infrastruktur. Yang ada kebanyakan infrastruktur peninggalan rezim lama
yang sebagian sudah mengalami kerusakan. Wajar, jika ada petani subak di
Bali yang pernah mempertanyakan, mengapa bantuan pemerintah berupa
bibit, padahal yang lebih diperlukan perbaikan saluran irigasi yang kini
banyak yang bocor.
Bukan hanya terkait produksi, di sektor pertanian kita masih
menghadapi kendala berupa terbatasnya kemampuan petani mengakses pasar.
Produksi tinggi, tetapi petani tetap menjerit, akibat rendahnya harga
produk mereka. Ironisnya, pada saat bersamaan konsumen pun menjerit
akibat tingginya harga produk pertanian yang mereka perlukan
sehari-hari. Ini petunjuk, harga produk pertanian masih sangat
tergantung pada tengkulak/pedagang. Mata rantai pemasaran hasil
pertanian yang panjang dan berliku ini pun menjadi salah satu persoalan
yang harus segera dipecahkan.
Jika demikian kondisinya, tampaknya kita belum siap berbicara dalam
era globalisasi sekarang ini. Kita masih berkutat pada masalah-masalah
mendasar di lingkungan internal di sektor pertanian. Kita masih sering
dihantui langkah tidak simpatik impor beras, padahal mestinya kita sudah
harus bertarung dalam arena persaingan ekspor produk pertanian. Kita
belum mampu mengenyam nikmat konsep trickle down effect yang
mengandaikan kesejahteraan global akan merembes ke arena lokal. Sebab,
kita masih fokus mengurusi persoalan mendasar, kebutuhan utama perut,
dan belum sempat melakukan spesialisasi komoditas ekspor dengan tujuan
untuk meningkatkan keunggulan komperatif.
Sektor pertanian telah ditetapkan sebagai fokus dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang 2005- 2025. Persoalannya, sudah sampai sejauh
mana rencana itu dijabarkan di daerah-daerah seiring otonomi daerah?
Pembangunan pertanian harus dimulai dari daerah, dari bawah.
Infrastruktur dibangun, sumber daya manusia disiapkan, berdasarkan
program yang konseptual. Sudahkah terpikirkan dalam era global ini,
misalnya, jogotirto, ulu-ulu banyu, kelian subak pun mestinya sosok yang
berketerampilan, berwawasan global, dan visioner, sesuai bidang dan
tugasnya?
Sumber : http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar